Kamis, 01 Januari 2015

BUAH MATA

Sekali pancar cintamu melepas-luncurkan
ratusan juta makhluk hidup yang tak kasat mata
berlomba berenang di garba istrimu yang tercinta
berebut mahkota yang membuahkan buah mata
ikutlah sesekali meluncur berenang
dalam sungai cintamu
sampai ke garba kehidupan
lihatlah proses agung penciptaan anakmu yang dahsyat
wahai alangkah rumit wahai alangkah ajaib
wahai alangkah wahai

nuthfah jadi darah, darah jadi daging
kaukah yang menjadikan kulit membalut daging
daging membalut tulang, tulang membalut sum-sum
kaukah yang membalut?

Otot-otot, urat-urat, syaraf-syaraf,
Reseptor-reseptor, kelenjar-kelenjar, sel-sel
Bulu-bulu, rongga-rongga, pori-pori
Usus-usus, paru-paru, mata, hidung, telinga
Mulut, limpa, ginjal, kelamin, dubur, jantung,
Otak, hati, ruh

Lihatlah, air cinta yang kau tumpahkan bagai hujan tumpah ke bumi
Bumi membelah diri bagi suatu kelahiran
Kau tak meniupkan ruh, tak meniupkan cipta
Bagaimana anakmu mampu hidup dan mencipta?
Kau tak memasang indera tak memasang anggota
Bagaimana anakmu mampu mengindera dan nyata?
Kau tak menitipkan rasa tak menitipkan kata
Bagaimana anakmu mampu merasa dan berkata?
Kau tak menitipkan benci tak menitipkan cinta
Bagaimana anakmu mampu membenci dan mencinta?
Kau tak menitipkan senyum tak menitipkan air mata
Bagaimana anakmu mampu tersenyum dan mengucurkan air mata?
Kau tak meniupkan apa-apa, tak menitipkan apa-apa
Karena memang kau seperti anakmu juga
Sejak mula tak memiliki apa-apa
Bagaimana kau mengaku segala apa
Kau tahu, pemiliknya Yang Sejati menitip-amanatkan padamu
Dan tak pernah berhenti mengawasimu
1413 H

SUJUD - PUISI

SUJUD

Bagaimana kau hendak bersujud pasrah, sedang
Wajahmu yang bersih sumringah,
Keningmu yang mulia dan indah begitu pongah
Minta sajadah agar tak menyentuh tanah
Apakah kau melihatnya seperti iblis saat menolak
Menyembah bapamu dengan congkak
Tanah hanya patut diinjak, tempat kencing dan berak,
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya lahan pemanjaan nafsu serakah dan tamak

Apakah kau lupa bahwa
tanah adalah bapa dari mana ibumu dilahirkan
Tanah adalah ibu yang menyusuimu dan memberi makan
Tanah adalah kawan yang memelukmu dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang menuju keabadian

Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Ratakan heningmuTanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agungAllah membelaimu dan
Terbanglah kekasih.

Rabu, 31 Desember 2014

puisi tahun baru

SELAMAT TAHUN BARU KAWAN
OlehK.H. Mustofa Bisri

Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk?
Memandang diri sendiri?
Bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisab-Nya?
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah?
Umat Muhammad-kah kita?
Khaira ummatin kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain?
Atau bahkan lebih rendah lagi?
Hanya budak-budak perut dan kelamin. Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan Lebih pipih dari kain rok perempuan. Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersama-Nya. Syahadat kita rasanya seperti perut bedug,atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya. Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu Lebih cepat daripada menghirup kopi panas Dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda. Doa kita sesudahnya justru lebih serius Memohon hidup enak di dunia dan bahagia di surga. Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadwal makan minum dan saat istirahat Tanpa menggeser acara buat syahwat. Ketika datang lapar atau haus; kitapun menggut-manggut,“Oh beginikah rasanya.”Dan kita sudah merasa  memikirkan saudara-saudara kita yang melarat. Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia.. Kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran,upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda. Haji kita tak ubahnya tamasya  menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material. Membuang uang kecil dan dosa besar, lalu pulang membawa label suci aslibmade in Saudi, Haji.Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita bersama-Nya? Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya Mensiasati dunia sebagai khalifah-Nya. Kawan, tak terasa kita semakin pintar Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita, paling tidak kita semakin pintar berdalih. Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran Melacur dan menipu demi keselamatan Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan Memukul dan mencaci demi pendidikan Berbuat semuanya demi kemerdekaan Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman Membiarkan kemungkaran demi kedamaian Pendek kata, demi semua yang baik halal-lah semua sampai pun yang paling  tidak baik. Lalu bagaimana para cendikiawan dan seniman? Para mubaligh dan kiai penyambung lidah Nabi? Jangan ganggu mereka. Para cendikiawan sedang memikirkan segalanya Para seniman sedang merenungkan apa saja Para mubaligh sedang sibuk berteriak ke mana-mana Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdoa Para pemimpin sedang mengatur semuanya Biarkan mereka di atas sana Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.Kawan, selamat tahun baru Belum juga tibakah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?